Kamis, 15 Januari 2009

SPIRITULITAS




Lanjutan Tentang Klausura

II. HIDUP DALAM KLAUSURA ITU LUAR BIASA












Dalam terbitan Cermin yang lalu kita sudah berbicara mengenai “Hidup dalam Klausura itu sederhana”. Sederhana dalam arti mempunyai satu tujuan yaitu: “Menjadi tempat perjumpaan dengan Tuhan”.

“Perjumpaan dengan Tuhan” ini menjadi kunci utama yang tak dapat diabaikan jika kita ingin melihat sesuatu yang luar biasa di balik tembok-tembok klausura. Apakah itu?

Saya ingin melihat hal yang luar biasa itu dalam dua hal ini:

(1) Klausura: Sarana untuk memperoleh kebebasan sejati.

(2) Kalusura: Batas-batas yang memungkinkan para rubiah menjangkau seluruh dunia.

1. Klausura: Sarana Untuk Memperoleh Kebebasan Sejati

Pada waktu memikirkan tema ini, saya teringat akan sebuah cerita mengenai seorang tahanan Nazi di kamp konsentrasi. Ia terbelenggu dan disekap dalam sebuah ruangan yang gelap. Ia hanya bisa melihat seberkas cahaya yang masuk melalui sebuah lubang kecil yang ada di hadapannya. Dari lubang kecil itu pula ia dapat melihat pemandangan di luar dan mendengar kicauan burung-burung yang samar-samar terdengar. Ia bersukacita oleh semuanya itu. Kemudian dalam kekaguman dan rasa syukur ia selalu menyambut datangnya pagi dengan senyum bahagia. Kebahagiaan yang ia rasakan saat ini jauh lebih besar dan lebih mendalam daripada ketika ia masih bebas dan bisa berkeliaran di mana-mana. Dalam keadaan terbelenggu ini justru ia merasakan kebebasan batin yang luar biasa. Apa rahasianya?

Banyak orang berpikir bahwa orang yang bebas itu adalah orang yang bisa berkeliaran dan mengembara ke mana-mana. Tetapi itu berarti, bahwa mereka tidak cukup bebas untuk menjadi stabil dan tidak cukup bebas untuk menjadi gembira karena mereka terus bergerak dan terus menginginkan dan tak pernah puas. Mungkin ada orang yang menyangka bahwa ia sungguh bebas jika ia dapat terbang seperti burung ke sana ke mari tanpa ada yang membatasi. Ia berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ia tidak puas kalau masih ada tempat yang belum dikunjungi dan gelisah untuk memenuhi keinginannya itu. Dengan demikian meskipun secara fisik ia bebas namun rohnya terbelenggu oleh keinginannya.

Seorang artis besar bernama William Congdon yang telah berkeliling dunia untuk memperoleh kebebasan dan ia selalu menemukan bahwa semuanya itu sangat terbatas. Tetapi sekarang, ia tinggal di sebuah loteng di Assisi. Di ruang yang serba terbatas itu, ia telah menemukan kebebasan yang tanpa batas karena di sana ia bertemu dengan yang Tak terbatas, yaitu Tuhan yang bersemayam dalam keheningan hati. Sekarang satu ruangan kecil saja sudah cukup baginya dan ia merasa tidak perlu lagi pergi berkeliling dunia.

Hal yang sama dapat dikatakan, bila seorang gadis memilih untuk mengurung dirinya dalam tembok-tembok klausura. Memang tak dapat disangkal bahwa dengan masuk dalam klausura ia memilih hidup seperti seorang tawanan yang tak bebas lagi bergerak ke sana ke mari. Namun ini adalah langkah awal menuju kebebasan sejati, karena dengan memasuki klausura ia berani mengatakan cukup kepada tawaran dunia dan kepada berbagai keinginan yang terus mengejar dan membelenggu serta memperbudak rohnya. Tembok-tembok klausura akan menjadi sarana yang sungguh membebaskan dia dari persaingan anak-anak dunia dalam mengejar kekayaan, kesenangan, kedudukan, kekuasaan, pamor dan seterusnya … karena seluruh hidupnya terarah pada satu tujuan saja yaitu bersatu dengan Tuhan.

Kita tahu bahwa orang-orang kriminal, para pemburu yang selalu mengembara kemana-mana, yang selalu melarikan diri, tidak pernah bebas, pandangannya selalu berkeliaran karena takut akan pengejaran, telinganya selalu dipasang untuk mendengar alarm; tetapi kurungan yang membahagiakan yang ke dalamnya klausura telah memimpin kita telah membuat kita menjadi tawanan Sang Kekasih dalam kerajaan baru dari Mempelai yang sangat dicintai dan dirindukan. Karena itu, klausura sungguh menjadi tempat yang membahagiakan, menyenangkan, menyemangati dan membebaskan. Dan menjadi tawanan di dalamnya sungguh membahagiakan.

Tidak seperti seorang pengembara yang selalu berkelana, selalu menyelidiki, selalu mencari, dan tidak pernah sungguh-sungguh menemukan, tetapi seorang tawanan yang bahagia ada dalam apa yang disebut St. Koleta: “Klausura yang indah”. Karena itu, dengan antusias ia berseru dalam bahasa Perancis: “O…heureuse captive!” dan kita menggemakannya kembali: “O….tawanan yang berbahagia!”. Inilah kontradiksi dan sekaligus kebenaran dalam hidup klausura: “Ketika kita membiarkan diri terkurung dalam Tuhan, kita akan mengalami kebebasan sejati!” Mengapa? Karena hanya Tuhan sumber kebebasan sejati yang sanggup membebaskan kita dari segala dosa.

1. Klausura: Batas-batas yang Memungkinkan Para Rubiah Menjangkau Seluruh Dunia.

Dalam kaul kita meyatakan kerelaan kita untuk hidup dalam klausura. Pemberian diri kita adalah pemberian dari jiwa yang dapat terbang bebas karena tidak dihalangi oleh berbagai kebutuhan. Dari dalam klausura kita menjangkau seluruh dunia sebab kita berada dalam Kristus. Meskipun sementara orang mengatakan bahwa kita terkurung di balik tembok, namun kita tahu bahwa tembok-tembok itu adalah lambang ungkapan yang indah dari ketersembunyian kita dalam Kristus Tuhan kita.

Segala sesuatu dalam klausura berbicara tentang Allah. Semuanya dimaksudkan untuk menghantar jiwa pada persatuan yang terus-menerus dengan Tuhan. Dalam persatuan dengan Tuhan inilah terletak misi utama hidup kita. Hidup dalam klausura adalah meletakkan seluruh diri kita ke dalam tangan Tuhan; Tangan Tuhan yang merangkum seluruh dunia. Dengan demikian, meskipun kita berada di tempat yang kecil dan terbatas dalam klausura, kita dapat melayani seluruh dunia kerena seluruh dunia ada dalam tangan Tuhan. Maka yang paling penting bagi kita untuk hidup dalam klausura bukan lagi apa yang saya buat atau apa yang saya katakan, melainkan “SAYA ADA” atau saya “SAYA HADIR” di sini.

Penting sekali bahwa “SAYA SELALU ADA dan HADIR” di sini bersama Tuhan yang setiap saat mencintai dan menyatakan cinta itu dengan setiap saat berkarya, mencipta, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, memulihkan, mengampuni, menyembuhkan, memperhatikan, membantu, dan…lebih dari semuanya setiap saat Ia berusaha membawa kembali manusia kepada-Nya dengan membersihkannya dari segala lumpur dosa, dengan mencarinya ketika tersesat, mengangkatnya ketika jatuh. Dengan hadir di hadirat Allah kita diikutsertakan secara mendalam dalam karya penyelamatan Allah bagi seluruh dunia. Karena itu, hidup dalam klausura bukan sekedar untuk mengurung diri dan menjauhkan diri dari dunia ramai melainkan untuk merangkul seluruh dunia lebih erat dan lebih dekat pada sumber hidup yang sesungguhnya. Karena itu, doa yang terus-menerus menjadi makanan sehari-hari yang tak dapat dilalaikan.

Dalam pengertian ini, maka klausura menjadi tanda Allah yang semuanya serba cukup karena di dalam Dia terangkum segala-galanya dan segala-galanya ada dalam Dia. Maka dengan menempuh cara hidup ini, kita dapat mengatakan kepada dunia: siapakah Allah itu, dan saya adalah miliknya, itu cukup, bahkan lebih dari cukup.

Akhir Kata….

Waktu masih kuliah dulu, dosen maupun teman-teman sering bertanya demikian: “Apa karya kalian yang utama?” Untuk menjawab pertanyaan ini bagi saya gampang-gampang susah. Gampang, karena hanya ada satu jawabannya. Sulit, karena saya tahu banyak orang pasti akan sulit mengerti jawaban itu. Misalnya: pada suatu hari saya agak berdebat dengan seorang dosen yang menanyakan hal yang sama dan saya menjawab: “Karya utama kami adalah doa.” Dosen itu mengatakan: “Coba yang konkret sedikit Suster. Maksud saya yang bisa langsung dirasakan masyarakat. Seperti misalnya pelayanan untuk orang miskin. Saya tahu tentang biara-biara kontemplatif kuno yang telah banyak memajukan pertanian dan kebudayaan. Tahukah kamu bahwa kebudayaan dan kesusasteraan yang tinggi justru datang dari biara-biara kontemplatif? Dan kamu apa sumbanganmu yang konkrit bagi masyarakat?” Saya coba menjelaskan bahwa itu bukan yang utama. “Kami mengabdikan diri untuk suatu pelayanan yang tidak bisa langsung dilihat dan dirasakan hasilnya”. Tetapi dosen itu tetap tidak bisa menerima jawaban saya dan tetap mendesak: “Coba cari yang konkrit. Masakkan tidak ada?”

Ini adalah salah satu contoh reaksi yang sering muncul berhadapan dengan kenyataan hidup terkurung dalam klausura. Sulit dimengerti, tetapi memang benar bahwa pelayanan hidup dalam kalusura itu tidak bisa diukur, dikalkulasi, dihitung dan dikonkret-konkretkan. Itulah tandanya bahwa hidup dalam klausura itu “LUAR BIASA!” dan YANG LUAR BIASA DALAM HIDUP INI SERINGKALI TIDAK TAMPAK, ATAU SAMAR-SAMAR SAJA. Karena itu, para rubiah tidak boleh ragu untuk mengatakan bahwa karya utama kami adalah doa dan untuk itu kami memilih hidup tersembunyi.

Tetapi sekali lagi harus dikatakan, ini semua hanya mungkin kalau klausura benar-benar dihayati sebagai tempat perjumpaan dengan Tuhan dan di dalamnya kita sungguh mencari dan menemukan Tuhan. Jika tidak, maka sebaliknya akan terjadi. Klausura akan menjadi tembok-tembok derita yang menyiksa semua orang yang tinggal di dalamnya.

Karangan ini adalah saduran dan terjemahan bebas dari tulisan Sr. Mary Francis P.C.C yang berjudul “Walls Around The World”

oleh Sr. Paula OSCCap.

Lanjutan…. MENDAKI

GUNUNG KEKUDUSAN

FRANSISKAN

BAB III

MENJAUHKAN DIRI DARI SEGALA KEJAHATAN

Sekarang jika kita ingin sungguh-sungguh naik ke gunung kesempurnaan Fransiskan, kita harus memutuskan untuk mulai dengan segera pendakian rohani yang berat ini, berapapun sulitnya. Hal yang tidak dihindarkan dari keputusan ini adalah, menjauhkan semua kejahatan. Dengan melepaskan kewajiban yang berat ini kita tidak dapat berpikir untuk naik kepada Allah Kita harus menjauhkan kejahatan, menjauhkan dosa, satu-satunya kejahatan di dunia. Kita harus melepaskan belenggu-belenggu kejahatan dan memadamkan api hawa nafsu tanpa keinginan sedikitpun, bagi dunia, daging,dan kejahatan. Kemudian pada akhirnya jiwa akan merasa dirinya ringan dan bebas, dalam situasi yang bahagia ini akan menjadi sulit untuk mengikatkan diri dari kesenangan-kesenangan yang dangkal daripada naik melalui jalan yang kasar menuju kekudusan serafik

“Menjauhkan diri dari kejahatan!”Kata-kata ini sedikit tetapi menerima semuanya akan berarti lebih sulit dan berangsur-angsur. Betapa banyak pergulatan, penderitaan, penyangkalan diri, dan keberanian yang tersembunyi di dalam empat kata-kata ini! Menjauhkan kejahatan berarti memisahkan seseorang dari kejahatan pribadi, melarikan diri dari perbuatan dosa, memutuskan semua kelekatan-kelekatan yang penuh dosa, membakar akar-akar kejahatan, mengendalikan indera-indera kita dan mati terhadap diri sendiri.

Oleh karena itu menjauhi kejahatan berarti membuat seseorang berani untuk bersikap berlawanan dengan yang alamiah, dunia dan kejahatan. Untuk hal ini, kita harus membayarnya dengan harga yang mahal. Kita harus menaklukkan kecenderungan-kecenderungan kita yang buruk keinginan-keinginan, kelemahan-kelemahan, dan godaan-godaan kita, yang selalu muncul dengan cara yang menarik. Jangan sampai ada seorang pun yang menyangkal bahwa hal ini akan menyakitkan!

Dengan menjauhkan kejahatan bukan berarti kita menaklukkan hanya sebagian kejahatan sementara kita melekat pada beberapa kesenangan pribadi atau membuat beberapa kelonggaran. Bukan demikian! Menjauhkan kejahatan dosa berarti menaklukkannya samasekali bahwa kita sendiri merasa bebas samasekali darinya, menurut doa Bapa Kami: “Bebaskanlah kami dari yang jahat.” Kita boleh menafsirkan kata-kata ini sebagai,”Bebaskanlah kami, O Tuhan, dari kekuasaan kejahatan dan dari kekuasaan dosa.

Dengan demikian bukan berarti bahwa kita akan menikmati kedamaian di atas bumi ini serta mengalami kebebasan surgawi dari para malaekat dan para kudus. Tidak, kita akan selalu mengalami pencobaan-pencobaan dan perjuangan-perjuangan melawan kuasa kejahatan, tetapi kita akan berdiri teguh didalam Allah dan tidak akan membiarkan satu pun dari kelemahan menguasai kita atau mengubah tujuan kita. Dengan demikian kita akan memperoleh kemenangan-kemenangan terus-menerus dan sempurna yang akan menolong kita lebih bebas dan lebih dari segala sesuatu yang akan menghalangi pendakian kita. Kemudian pencobaan-pencobaan yang datang akan menyentuh hanya pada permukaan jiwa-jiwa kita. Mereka tidak akan merasuki; mereka tidak akan memperoleh tempat berpijak. Dan ketika mereka telah pergi, kita akan merasakan kebahagian yang pasti dari kebebasan yang diperoleh melalui kekuatan dari usaha kita sendiri dan kekuatan dari rahmat Allah. Inilah yang kami maksudkan dengan menjauhkan diri dari kejahatan. Semua ini berkaitan dengan jiwa-jiwa yang kuat dan murah hati, yaitu mereka yang telah belajar menginginkannya. Hanya jiwa-jiwa yang seperti itulah yang akan sanggup naik ke gunung Alverna dan mencapai kesempurnaan mereka.

Sekarang marilah kita mengambil dua contoh dari Ordo III St. Fransiskus. Pada waktu Eve Lavalliere, seorang pelawak perempuan berkebangsaan Perancis yang terkenal, yang secara total bertobat kepada Tuhan kita, dia masih mempunyai kontrak-kontrak yang sangat menguntungkan dengan kelompok teater-teater di Amerika. Tetapi secara harafiah dapat dikatakan dia memisahkan diri dari segalanya, menderita, kehilangan yang hebat secara material. Hal ini memungkinkannya untuk naik ke gunung kekudusan Fransiskan, lebih lagi selain melepaskan kontrak-kontrak ini dia sendiri telah memutuskan sama sekali korespondensi dengan semua penggemar-penggemarnya dan manejer-manejer teaternya. Tindakkannya memisahkan diri dari dunia adalah permulaan dari pendakian rohaninya menuju Allah.

Matt Talbot yang terkenal sebagai seorang pemabuk. Lebih dari sepuluh tahun dia hidup sebagai budak perbuatan buruk yang menjijikkan ini. Tetapi suatu hari dia melepaskan diri dari semuanya itu. Dia tidak hanya berhenti meminun setiap jenis minuman alkohol, tetapi dia juga tidak mau lagi masuk ke rumah-rumah di mana minuman-minuman tersebut dijual. Memang benar benar bahwa suatu hari sahabat-sahabatnya memaksa dia untuk masuk ke suatu tempat yang seperti itu, tetapi sementara semua yang lain meminum minuman-minuman alkohol, Matt meminum air putih. Beberapa waktu setelah itu dia sampai pada kesimpulan bahwa merokok adalah salah satu pengganti alkohol yang tersembunyi; jadi ia tidak ingin menjadi budak dari kebiasaan lainnya, maka dia berhenti merokok untuk selamanya. Dan karena Matt telah menjauhkan diri sama sekali dari kejahatan minum yang berlebihan dan mulai bermatiraga, kita melihat kemuliaannya sekarang di atas puncak Alverna, dia yang adalah seorang pekerja sederhana di dermaga-dermaga di Dublin.

Jadi itulah yang dilakukan semua pengikut Fransiskus yang sejati sejak awal. Halaman-halaman pertama kronik-kronik Fransiskan kita memperlihatkan dengan kepastian yang tak dapat diragukan, apa yang dituntut oleh Bapa Serafik kita dari para pengikutnya. Dia tidak menginginkan budak-budak; dia tidak menginginkan hamba-hamba; dia menginginkan jiwa-jiwa yang bebas, yang telah menjauhi segala sesuatu yang ada di bawah ini, dapat naik dengan gembira bersamanya ke Gunung Alverna yang berasal dari cintanya. Para pengikut pertama St. Fransiskus itu naik ke gunung kekudusan, dengan orang kudus selalu ada di depan mereka, selalu memberikan contoh kepada mereka, selalu mendorong mereka dengan keberanian, dan selalu membangkitkan antusiasme di dalam hati mereka.

Radikalisme st.Fransiskus sunguh-sunguh mengaggumkan. Dia menjauhi segala sesuatu. Di hadapan uskup Asisi, di hadapan orang tuanya dan di hadapan kerumunan orang yang menontonnya dengan rasa ingin tahu, Fransiskus menelanjangi dirinya sendiri, demikian ia memperlihatkan dengan jelas bahwa dia memutuskan sama sekali dirinya dari dunia ini supaya dengan demikian ia dapat dilahirkan kembali untuk Allah. Kemudian, untuk menundukkan tubuhnya dengan sempurna ke tali kekang Roh, dia memeluk patung dari salju dan menggulingkan dirinya diantara duri ketika dia digodai oleh keinginan daging. Fransiskus memisahkan diri dari kejahatan dengan cara yang tak dapat ditarik kembali, ketika ia menyerukan lebih dengan hidupnya daripada dengan lidahnya “Tuhanku dan segalaku.”

Diterjemahkan oleh: Sr. Chiara dan Sr. Paula

DAMAI DAN PERINGATAN

Refleksi pada kamis suci

Oleh ibu Mary Francis P.C.C

Sekali lagi kita berkumpul di ruang atas kita pada hari Kamis Putih ini. Ini adalah hari kenangan. Kita teringat akan hari Kamis Putih yang pertama. Tentulah komunitas pertama dari Tuhan kita terkasih sering diingat. Dia bersabda kepada mereka, dan kami mendengar sabda-sabda-Nya setiap hari pada Misa Kudus, “lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku’. Semua yang dari Kitab Suci dibubuhi kata peringatan. Jika kita mencintai, sesungguhnya tidak ada yang lain yang kita inginkan selain diingat oleh seorang yang kita cintai.

Pada taraf perasaan manusiawi kita tahu ini: adalah sesuatu yang sangat menyenangkan kalau kita diingat. Dan jika kita sungguh mencintai, tidak ada sesuatu yang lebih menyakitkan daripada berpikir bahwa kita dilupakan. Dan kemudian bersama Tuhan kita tercinta, pada saat terakhir hidup-Nya ini, dalam satu keadaan bahwa kita harus memikirkan semua kesalahan…di sini ada Dia sendiri, menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, yang sibuk dalam pertengkaran kecil mereka tentang siapa yang terbesar. Pada waktu yang sama itu, Dia memberi mereka sesuatu yang sungguh-sungguh harus diingat. Tentu saja mereka tidak pernah melupakan Tuhan dan Pemimpin mereka yang berlutut di hadapan mereka untuk mencuci kaki mereka. Pertengkaran kecil itu berhenti, dan sungguh suatu keheningan yang sangat mempesona dan ketakutan yang suci memenuhi hati mereka dan mereka teringat. Tidak diragukan itu adalah sebagian besar dari peringatan pada saat ini, saat keimaman mereka, bahwa mereka dapat menjadi seperti apa yang Dia impikan.

Sekarang kita perlu mengambilnya ke dalam diri kita sendiri, secara istimewa pada hari ini, dan lihatlah apakah yang paling kita ingat. Dan apakah yang cepat kita lupakan, atau secara perlahan kita lupakan. Kita tahu bahwa sering kita cukup mengingat banyak hal yang seharusnya kita lupakan. Kadang-kadang kita mengingat luka-luka, keluhan-keluhan, dan salah paham-salah paham kecil, yang seharusnya segera kita lupakan. Jika kita berbuat demikian, tak dapat dihindarkan kita melupakan apa yang seharusnya kita ingat, yaitu: keajaiban bahwa kita dimengerti, dicintai, dipikirkan, dan diingat. Suatu keputusan besar dalam hidup kita, dan keputusan ini perlu dibuat dan dibuat lagi tentang apa yang kita pilih untuk diingat dan apa yang kita pilih untuk dilupakan.

Selalu, Tuhan ingat untuk menjadi penuh kemurahan. Dia selalu ingat untuk mengampuni. Dia selalu menemukan alasan untuk mengampuni. Kadang-kadang kita tidak begitu cakap dalam hal ini. Tetapi Dia selalu demikian. Dia meyakinkan kita lagi dan lagi dalam Kitab Suci, apa yang akan Dia lakukan terhadap dosa-dosa kita, jika kita bertobat. Dia akan melemparkan dosa-dosa kita itu ke dasar laut, seperti yang dikatakan para nabi yang terilhami kepada kita. Dia memberitahu kita melalui Yesaya, bahwa jika kita hanya ingin bertobat, jika kita hanya ingin memutuskan dengan rahmat-Nya, untuk berbuat lebih baik, mencintai Dia, nah, Dia akan menghapus semua noda dosa kita. Dia akan membuatnya putih. Dia akan membuat kita murni di hadapan-Nya. Dia tidak pernah, tidak pernah melupakan kerahiman-Nya.

Pada hari peringatan ini kita ingin bertanya pada diri kita sendiri apa yang kita ingat dan apa yang kita lupa. Betapa gampang kita melupakan kerahiman-Nya yang sangat kita butuhkan itu. Betapa gampangnya kita melupakan cinta-Nya, betapa mudahnya kita melupakan semua pemberian dan betapa sering kita ingat apa yang seharusnya tidak kita ingat. Ini adalah pilihan yang harus kita buat. Bukankah ini barang kali bagian dari tindakkannya yang sangat dramatis ini, bahwa ia ingin menekankan kepada mereka apa yang harus mereka ingat? Karena semua kebanggaan dan ketidak patuhannya, seseorang dapat sangat melupakan Allah–Pemimpin, Guru, Tuhan ….yang berlutut di hadapan mereka dan membasuh kaki mereka. Mereka di atas, Dia di bawah. Mereka sungguh tidak akan melupakan hal ini. Dan juga cinta-Nya, kerahiman-Nya, dapat dikatakan, inilah sarana yang merupakan langkah awal untuk membantu mereka mengingat apa yang sepantasnya diingat dan melupakan semua ambisi mereka picik, pertengkaran-pertengkaran dan kesombongan-kesombongan mereka, melupakan semua itu dan mengingat Dia yang berlutut di hadapan mereka. Maka marilah kita menjadi unggul dalam seni untuk mengingat betapa mengagumkan bahwa kita mempunyai saudari-saudari, betapa mengagumkan bahwa kita memiliki saudari-saudari membawa cita-cita yang sama, dan menginginkan satu hal yang sama, semua ingin menjadi seperti yang Yesus inginkan. Ini adalah hari untuk mengingat dan melupakan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk diingat.

Betapa berharganya karunia memori (ingatan) yang kita terima. Kita dapat menyimpan segala sesuatu, dan segala sesuatu yang lewat dalam waktu tetap tinggal dalam memori. Kita mestinya tidak menyimpan dalam benteng yang sangat berharga itu, segala sesuatu yang tidak layak untuk masuk ke sana. Marilah kita dengan penuh semangat memutuskan bahkan mulai hari ini kerendahan hati Yesus, kemurahan hati Yesus, dan cinta Yesus yang tak habis-habisnya. Mari kita ingat murah hati kepada satu sama lain, terhadap seluruh dunia. Mari kita ingat cinta. Mari kita ingat kerendahan hati dan mari kita melupakan segala sesuatu yang tidak pantas untuk masuk ke dalam benteng dan istana memori kita. “Buatlah ini sebagai peringatan akan Daku…Jadilah lemah lembut dan rendah hati”. Jika harga diri menggoda kita untuk berdiri sangat tinggi, menjadi rendah diri, berpikir bahwa kita tidak semua sangat membutuhkan kerahiman, kemudian semoga kita mengingat Allah yang berlutut, semoga kita mengingat kerahiman-Nya, cinta-Nya, kerendahan hati-Nya dan tidak lagi digodai untuk mengingat apa yang seharusnya kita lupakan, tetapi cepatlah melupakan apa yang tidak pantas diingat.

Dikutip dari salah satu konferensi pada tahun 1991

Oleh para Suster Klaris Kolektin, Poor Clare Monatery of Our Ladu of Guadalupe, 809 East Nineteenth Street, Roswell, New Mexico 88201. © 2008 oleh Komunitas Klaris Miskin Mexico Baru, Inc.

Diterjemahkan oleh Sr. Pia dan Sr. Paula.