Sabtu, 17 Januari 2009

Klasura

III. APA YANG KHUSUS DALAM KLAUSURA PARA KLARIS?


Barangkali tidak ada hidup yang selalu disalah artikan seperti hidup kontemplatif dalam klausura. Klausura seringkali dianggap sebagai pelabuhan bagi orang yang tidak senang tinggal di dunia; tempat pelarian bagi mereka yang mengalami frustrasi; hidup yang mudah untuk orang-orang yang tidak mau memikul beban kerasulan aktif. Hidup dalam klausura bagi para suster Klaris bukan demikian. Mereka dinamakan Klaris Miskin karena mereka miskin, hidup dari kerja tangan dan karya pemikiran mereka sendiri dan juga dari sumbangan umat beriman karena mereka adalah pengikut seorang wanita yang paling menarik, namanya Klara, Klara dari Asisi[1].

Kutipan di atas menggambarkan secara singkat bagaimana para suster Klaris menghayati hidup dalam Klausura. Secara umum mereka hidup dalam biara tertutup seperti para suster kontemplatif lainnya. Sepintas lalu memang tidak nampak adanya banyak perbedaan, baik itu dalam bentuk bangunan fisik maupun dalam tata hidup harian. Namun tidak dapat disangkal setiap berbentuk hidup kontemplatif dalam klausura mempunyai kekhasannya sendiri. Semua itu tidak terlepas dari latar belakang dan visi misi setiap pendiri. Karena itu, untuk dapat melihat kekhasan sebagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini titik tolak sejarah diperlukan.

Dom Jean Prou dan Para Suster Ordo Santo Benediktus di Solesmes yang menulis buku berjudul “La Clausura Delle Monache” mengatakan bahwa Para Suster Klaris telah membuka suatu periode baru dalam sejarah hidup klausura. Mulai dari Formula Vitae yang diberikan oleh Fransiskus sampai pada lima regula lain yang menyusul kemudian hari, memperlihatkan perkembangan Ordo yang kompleks namun di sisi lain dalam tatanan nilai Para Suster Klaris, klausura muncul dengan ciri khas yang berbeda, yaitu: suatu bentuk hidup dalam klausura yang langsung diikuti oleh kemiskinan. Lebih dari 43 tahun St. Klara bersama para saudarinya di biara San Damiano, telah menghidupi dengan setia cara hidup seperti ini.

Sesungguhnya mereka itu yang pertama kali disebut atau dinamakan “Para Rubiah Miskin yang Terkurung” dalam surat-surat resmi Kepausan ( Gregorius IX, 30 Oktober 1228; Innocentius IV, 6 Mei 1244; Alexander IV, 8 Januari 1257).[2]

Khas Klaris: Klausura – Kemiskinan

Sudah menjadi pandangan umum pada masa Klara, bahwa hidup para rubiah dalam klausura harus dilengkapi dengan berbagai macam jaminan hidup yang mencukupi baik itu berupa tanah luas yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup para rubiah maupun berupa jaminan tetap lainnya. Hal itu dianggap wajar untuk para wanita yang hidup dalam biara tertutup seperti itu, karena dengan demikian mereka tidak dapat mengusahakan penghidupan mereka sendiri. Maka tidak heran kalau biara-biara seperti itu biasanya terkenal kaya dan sebagian besar penghuninya adalah putri-putri bangsawan. Sebab itu, ketika Klara memutuskan untuk sungguh-sungguh hidup tanpa milik, tanpa jaminan sesuai dengan semangat Fransiskus yang ingin diikutinya, banyak orang meragukan hal itu, dan tidak menyetujui keputusannya. Tantangan ini terutama datang dari Pimpinan Gereja.

Dalam hal ini, Kardinal Hugolinus yang adalah sahabat Klara sendiri mempunyai pengaruh besar. Beliau berusaha meyakinkan Klara bahwa tidak mungkin para suster yang hidup dalam klausura dapat terus hidup tanpa jaminan apapun. Bersama Paus, ia berusaha membujuk Klara agar mau menerima jaminan hidup yang ditawarkannya. Tetapi Klara tidak mau mundur karena ia tetap yakin bahwa ada hubungan yang langsung antara klausura dengan kaul kemiskinan dan keduanya saling melengkapi. Meskipun Klara juga tahu, bahwa klausura dengan sendirinya akan membatasi kebebasan mereka pergi minta-minta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun itu tidak menggoyahkan pendiriannya. Karena dengan demikian, penghayatan kemiskinan yang radikal lebih dimungkinkan. Ketika kemiskinan yang radikal itu dapat diwujudkan dalam klausura, klausura

mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menjadi tempat untuk mengabdi Tuhan melalui doa dan keheningan dalam kebebasan jiwa raga. Mungkin dengan alasan ini maka Klara berkeyakinan kuat bahwa klausura merupakan bagian yang paling esensial dalam hidup miskin. Disini letak inti perjuangan Klara untuk memperoleh Previlege Poupertatis (hak untuk hidup miskin) supaya tidak seorangpun berani membatalkan keputusan dan niat mereka.

Hidup dalam klausura yang disertai dengan semangat miskin, tanpa milik dan tanpa jaminan telah membawa ciri khas Fransiskan yang kuat dalam kehidupan Klara dan para saudarinya. Terutama semangat persaudaraan dan pelayanan, kerja keras, kedekatan dengan masyarakat khususnya orang-orang miskin, dan memberi penghargaan tinggi pada kebebasan roh.

Klausura yang Dijiwai Semangat Persaudaraan dan Pelayanan

Beberapa ahli berpendapat bahwa pada awalnya Klara tidak mau hidup dalam klausura, karena dianggap berlawanan dengan semangat St. Fransiskus. Tetapi mereka lupa bahwa si Miskin dari Assisi itu telah memberikan tempat yang penting pada aspek kontemplatif dan keheningan dalam pengajarannya kepada para pengikutnya. Bahkan menurut Thomas Merton semangat sembah sujud dalam keheningan di tengah ciptaan dan di hadapan Allah mempunyai hubungan yang kuat dengan cita-cita hidup Fransiskan, yaitu kemiskinan, doa dan kerasulan [3]. Maka bukanlah suatu kebetulan Fransiskus menulis Aturan untuk para Saudara yang mau hidup di pertapaan. Di situ dikatakan: “Saudara-saudara yang mau menjalankan hidup bakti di tempat-tempat pertapaan, hendaknya bertiga atau paling banyak berempat; dua dari mereka hendaknya menjadi “ibu”, dan dua yang lainnya atau sekurang-kurangnya satu menjadi “anak” mereka. Dua yang menjadi ibu itu hendaknya memerankan cara hidup Marta, sedangkan kedua anak memerankan cara hidup Maria; tempat tinggal mereka harus dipagar dan di dalamnya hendaknya tiap-tiap orang mempunyai satu bilik kecil, tempat berdoa dan tidur”[4].

Kutipan ini memperlihatkan bagaimana Fransiskus menghendaki hidup dalam pertapaan itu dilaksanakan. Meskipun bertapa hidup bersaudara yang saling melayani tidak boleh diabaikan. Sebagai pengikut Fransiskus yang setia, Klara tidak sungguh-sungguh memperhatikan hal ini. Itu terbukti dalam Regula yang ditulisnya. Kalau kita perhatikan baik-baik, sebagian besar berbicara mengenai persaudaraan dan pelayanan antar saudari. Semangat persaudaraan ini terwujud dalam perlakuan terhadap sesama saudari. Tidak ada perbedaan antara mereka. Tidak dipersoalkan asal-usul, latar belakang budaya atau pendidikan. Tidak ada suster awam atau suster koor, karena semua adalah saudari. Perhatian terhadap satu sama lain harus sedemikian besar sehingga: “...kalau seorang ibu merawat anak kandungnya lebih lagi seorang saudari harus mencintai dan mengasuh saudari rohaninya dengan saksama”. [5]

Ini bukan kata-kata kosong belaka, melainkan berasal dari pengalaman hidup Klara sendiri. “Ada cukup banyak kesaksian dari pihak mereka yang lama hidup bersama Klara tentang bagaimana gaya Klara selaku “abdis”. Ia tidak pernah mau duduk di tengah pada meja utama dalam ruang makan; tidur bersama suster lain di bangsal tidur; ia bangun sebagai yang pertama, menarik lonceng dan mempersiapkan gereja; selalu dan di mana-mana melayani saudari-saudari, merawat yang sakit, mencuci pakaian dan menyapu lantai. Dari “Abdis-ratu’ klara menjadi “Abdis-pelayan”. Klara selalu berkonsultasi dengan semua saudarinya, juga waktu penghuni San Damiano berjumlah 50 orang”.[6]

Klausura Dihayati dalam Semangat Bekerja

Hidup tersembunyi dalam klausura mengulangi hidup Yesus; Manusia-Allah yang telah mengisi hidup tersembunyiNya selama tiga puluh tahun dengan bekerja keras sebagai tukang kayu dan berdoa di puncak gunung. Klara melihat dengan baik hubungan antara ketersembunyian dalam doa, hidup miskin dan kerja keras. Karena itu ia mengatakan: “Para saudari yang oleh Tuhan diberi karunia untuk bekerja, hendaklah sehabis sembayang Tertia bekerja dengan setia dan pasrah kepada Tuhan sambil menangani pekerjaan yang pantas dan demi kepentingan bersama. Dan itu pun sedemikian rupa sehingga pengangguran, musuh keselamatan manusia, tercegah dan tidak terpadam semangat berdoa dan pasrah suci, yang mesti dilayani oleh segala sesuatu yang sementara”.[7] Pekerjaan adalah karunia dan sekaligus panggilan bagi semua pengikut St. Klara untuk bekerja keras. Sebagai orang miskin mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kerja adalah sarana yang normal untuk memenuhi kebutuhan tersebut[8] . Maka salahlah kalau ada orang yang mau masuk biara Klaris sekedar untuk menghindari kesibukan dan pekerjaan yang berat karena berpikir bahwa di biara itu para suster hanya berdoa dan tidak bekerja.

Dekat dengan Masyarakat

Bagi Klara, klausura tidak menutup kemungkinan untuk hidup dekat dengan masyarakat sekitar. Bersama teman-temannya Klara hidup dalam pingitan di luar kota, namun tidak jauh dari temboknya. Klara dan para pengikutnya tidak lari ke gunung, ke hutan atau ke gurun. Klara sengaja memilih tempat tinggal yang dekat dengan masyarakat. Meskipun pingitan diterapkan Klara sedemikian bijaksana, penghuni San Damiano jelas berpengaruh bagi masyarakat sekitarnya. San Damiano cukup ramai dikunjungi orang. Kebanyakan orang yang datang ke San Damiano pada waktu itu adalah orang-orang yang miskin dan sakit serta memerlukan bantuan tetapi kunjungan rakyat biasa itu tidak dialami sebagai gangguan. Klara merasa dirinya dipanggil untuk memainkan peranannya sendiri dalam Gereja dan pada umat Allah. Kepada Agnes dari Praha, Klara menulis bahwa ia dan teman-temannya merasa diri sebagai pembantu Allah dan penopang anggota-anggotanya yang lemah[9]. Karena itu, Klara berusaha membantu mereka sesuai dengan kondisi hidup mereka yang miskin dan hal yang paling mungkin dilakukan ialah membantu mereka dengan doa.

Dalam perkembangan selanjutnya biara-biara Klaris pada umumnya meneruskan tradisi dan warisan rohani dari Ibu Klara ini, yaitu dengan membangun biara-biara dekat dengan pemukiman masyarakat. Bahkan ada juga yang di tengah kota. Sampai sekarang biara-biara itu memang menjadi pengungsian bagi orang-orang miskin. Seperti misalnya, yang saya alami sendiri ketika berada di biara-biara kami di Italia. Orang-orang kaya yang datang minta doa jarang sekali saya temui dan bahkan hampir tidak ada lagi. Tetapi yang datang setiap hari adalah orang-orang miskin, pengemis yang minta diberi makan. Setiap siang para suster membagi makanan mereka dengan orang-orang miskin tersebut yang secara teratur datang. Mereka tidak kaya. Rejeki sehari-hari mereka peroleh dari upah mencuci pakaian. Bahan-bahan makanan dan minuman biasanya didrop ke biara karena sudah kadaluarsa. Demikian juga sayur dan buah-buahan yang tidak laku lagi di pasar diberikan kepada para suster. Mereka menerimanya dengan sukacita dan bergotong-royong membersihkan dan memilih mana yang masih bisa digunakan dan mana yang tidak, sehingga selalu ada persediaan untuk makanan sehari-hari. Kalau ada kelebihan langsung mereka bagikan dengan Yayasan Caritas yang khusus melayani orang-orang miskin.

Memberi Ruang pada Kebebasan Rohani

Kardinal Hugolinus dalam regulanya dan regula-regula lain yang ditujukan kepada para rubiah pada masa itu, memutlakkan klausura sebagai hambatan tetap yang menghalangi mereka untuk keluar biara, kecuali kalau mendirikan biara baru. Klara dalam Regula yang ditulisnya pada tahun 1253, memberi warna yang agak lain pada peraturan klausura ini. Ia memberikan keterangan tambahan yang memberi kemungkinan untuk keluar dari klausura kalau itu memang diperlukan. Ia menulis demikian: “..tidak diperbolehkan keluar biara, kalau tidak ada alasan yang berguna, masuk akal, jelas atau yang dapat dibenarkan”[10] (RegKl II, 12)

Dalam hal ini Klara tidak bermaksud mengabaikan atau melonggarkan peraturan klausura yang ketat itu melainkan karena ia tidak ingin mencekik kebebasan roh dengan peraturan yang terlalu keras. Klara menginginkan klausura tidak dihayati sebagai paksaan melainkan dalam kebebasan hati. Secara implisit ia berharap para suster sungguh-sungguh bijaksana dan dewasa untuk melihat dan memikirkan mana yang sungguh perlu, berguna, masuk akal dan dapat dibenarkan. Ia tidak menghendaki kebebasan yang liar dan tidak bertanggungjawab. Sebab itu, selalu harus melalui ijin Abdis.

Karena itu menurut P. Groenen: “Bukanlah sesuatu yang”luar biasa” atau “istimewa”, kalau dalam riwayat hidup Klara ada berita bahwa kadang-kadang Klara keluar dari biara, misalnya untuk merawat Fransiskus yang sakit; bahwa Klara di dalam biara (pingitan) dikunjungi entah oleh Saudara Dina atau orang-orang lain yang sakit. Hal semacam itu tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran klausura (pingitan) melainkan itu berarti Klara dan orang-orang lain dengan tepat memahami bagaimana maksud hukum dan tahu bagaimana melaksanakannya[11].

Maka para saudari tidak perlu resah kalau ada orang bertanya dan mulai membanding-bandingkan: “Kok Suster bisa keluar tidak seperti, OCD misalnya. Mereka sama sekali tidak boleh keluar lho..?” Apabila alasan kita keluar memang sesuai dengan maksud Klara di atas. Tetapi jika tidak, maka pantaslah kita berbenah diri.

Penutup

Pada bagian akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata yang memberi semangat kepada mereka yang hidup dibiara-biara kontemplatif khususnya kepada para Suster Klaris:

Para Suster Klaris memulai di dunia ini apa yang sebenarnya menjadi karya para kudus di Surga. Justru untuk kontemplasi Allah menciptakan kami. Dan ketika segala aktivitas sudah dihentikan, ketika bumi tidak lagi berputar pada porosnya dan matahari sudah hilang dalam asap, maka karya kontemplasi merupakan satu-satunya yang akan diteruskan untuk segala abad. Jika tidak ada lagi seorang anak untuk diajar, tidak ada lagi seorang sakit yang perlu dirawat, maka panggilan Suster Klaris yang miskin akan tetap diteruskan. Dia dipanggil oleh Allah bukan untuk melakukan sesuatu melainkan untuk menjadi sesuatu. Hidupnya sekarang adalah pralambang hidup abadi.[12]

Sr. M. Paula OSCCap


GUNUNG KEKUDUSAN

FRANSISKAN

Paula dan Stella, Des 2008

BAB IV

TIGA LANGKAH UNTUK MENJAUHKAN KEJAHATAN

Tanpa menjauhkan diri secara penuh dan radikal dari kejahatan ini, tidak ada gunanya berusaha untuk naik. Karena kejatuhan akan membawa malapetaka, dan kita barangkali akan kehilangan selama-lamanya keberanian dan ambisi untuk naik ke gunung kekudusan. Marilah kita meneruskannya dengan rendah hati!

I

Pertama kita harus melepaskan diri dari dosa berat dan setiap kesempatan yang memimpin kita kepada dosa berat. Seandainya kita sadar apa dosa berat itu, kita pasti akan menjauhinya seperti wabah. Berdasarkan arti namanya, dosa berat adalah kematian rohani jiwa. Ia memisahkan kita sama sekali dari Allah, awal dan akhir hidup kita. Dosa berat adalah misteri kejahatan yang paling dahsyat. Ia adalah nyala pertama dari api abadi. Ia menodai dan merusak jiwa dengan cara yang sangat buruk sehingga hanya korban diri Allah yang dapat memulihkan keindahan jiwa dan membersihkannya. Meskipun pernyataan ini kelihatannya terlalu dilebih-lebihkan, tetapi benar bahwa dosa berat adalah tragedi yang paling menyedihkan dalam sejarah hidup manusia. Sebab dosa itu sangat mengerikan dari dirinya sendiri dan akibatnya juga sangat mengerikan. Dosa berat mengakibatkan desolasi, kegelapan dan kehancuran. Ia lebih dahsyat daripada teriakan pemberontakan yang penuh kebencian dan tuntutan yang ditujukan oleh manusia yang lemah kepada Sang Pencipta yang Mahakudus dan Mahakuasa.

Dosa berat itu ialah: kemurtadan, ketidakadilan, hawa nafsu, balas dendam, kebencian dan segala bentuk irihati dan kebencian. Ia tidak berbelaskasihan dan sombong. Dan jika ketiga syarat untuk dosa berat itu ada, yakni hal yang menyedihkan, pengetahuan sempurna dan kesadaran penuh, malaikat akan melihat dengan penuh ketakutan dan berkata: “Ini benar-benar kematian yang sempurna dalam hidup”.

Oleh karena itu, mari kita dengan tegas menjauhkan diri dari segala bentuk dosa yang dibenci ini. Kalau berhadapan dengan dosa berat, kita harus memilih mati. Mari kita tidak pernah lagi mengganggu dan merusakkan dengan sengaja harmoni jiwa dan harmoni ilahi di dunia! Melainkan marilah kita secara radikal menjauhkan diri dari dosa, dan marilah kita melakukannya dengan segenap kekuatan dan dengan seksama supaya kita boleh menyanyikan lagu sukacita pembebasan rohani kita. Hanya kalau kita telah mengambil langkah pertama ini, maka kita akan memperoleh kemungkinan untuk naik ke gunung kekudusan kita.

Mari kita ingat pertobatan Margareta dari Cortona, seorang wanita pendosa yang memalukan, dia sungguh-sungguh telah menjadi seorang kudus yang besar sehingga dia pantas memperoleh julukan mulia sebagai Magdalena Serafik! Ketika Margareta melihat mayat kekasihnya yang telah dibunuh membusuk dan setengah tersembunyi di balik dedaunan, ia mengerti bahwa itulah gambaran dari kegelapan dan kebusukan jiwanya. Sesudah itu, betapa mudah bagi Mragareta untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kebusukan itu! Sebagai hasil dari pengertiannya yang baru itu, ia naik kembali ke dalam rangkulan Kekasih Ilahinya yang penuh belas-kasih.

Kesulitan kita ialah, kita tidak melihat dosa berat dalam segala kengerian dan kejahatannya. Sedangkan orang kudus melihatnya dan digoncangkan oleh ketakutan. Mereka melihatnya dan meledaklah tangisan mereka. Mereka melihatnya dan mereka dipenuhi dengan semangat untuk pengudusan dan keselamatan jiwa-jiwa. Mereka siap untuk menumpahkan darah, kalau itu perlu untuk menyelamatkan dan menguduskan jiwa-jiwa. Seorang Fransiskan yang suci dari Ordo Ketiga, St. Yohanes Vianney dari Ars, berseru: “Allahku, saya mau menderita apa saja, bahkan kesakitan yang paling parah sekalipun, selama saya hidup, untuk seratus tahun kalau itu memang perlu, supaya orang-orang berdosa bertobat.”

II

Dalam bagian kedua, kita harus melepaskan diri dari dosa ringan yang disengaja. Dosa-dosa ini membentuk pasukan yang memalukan dan berbahaya. Dan, meskipun pelanggaran-pelanggaran ringan itu tidak membunuh dan menghancurkan hidup rohani jiwa secara penuh, tetapi - sayang sekali - mereka mempunyai pintu masuk yang bebas ke dalam banyak jiwa, ke dalam bait-bait kudus Allah.

Yang termasuk dosa ringan ialah: kebohongan, sungut-sungut, kecaman-kecaman, tipudaya/intrik yang picik, kemalasan, kerakusan, cemburu dan irihati kecil-kecilan, kelekatan, ketidakadilan dan keingintahuan yang picik, ketidaksabaran, terlalu banyak bicara, kesia-siaan, pamer, kesombongan dan ketidaktaatan kecil-kecilan.

Jangan katakan bahwa tidak mungkin melepaskan diri dari begitu banyak dosa ringan itu! Lebih baik kita ingat, bahwa tidak mungkin seseorang naik kepada Allah dengan beberapa dari dosa-dosa tersebut. Semasih menjadi kebiasaan, dosa-dosa ringan yang disengaja akan menghalangimu naik ke gunung kekudusan. Hanya ada satu alasan saja mengapa banyak jiwa telah berhasil menyelesaikan pendakian dengan gilang-gemilang, yaitu karena mereka secara penuh melepaskan diri dari kebiasaan melakukan dosa-dosa ringan. Suatu pelanggaran ringan atau yang lainnya yang dilakukan karena kelemahan, karena kurang hati-hati, atau karena keadaan yang tak terduga sebelumnya, tidak akan menghalangi pendakian kita. Meskipun begitu ia akan mengurangi kemajuannya. Tetapi kita dapat belajar banyak dari kejatuhan kita; kita harus menggunakannya untuk memperdalam kerendahan hati kita, untuk mempertajam penyesalan kita, sehingga kita dibuat lebih percaya kepada Allah. Reaksi rohani terhadap kejatuhan yang tak terduga ini akan mengangkat jiwa dengan kekuatan yang lebih besar lagi menuju ketinggian gunung kekudusan.

Mari kita belajar dari orang-orang kudus Allah! Mari kita memperhatikan hidup hamba Allah, Frances Schervier, pendiri Saudari-saudari Kecil dari Kemiskinan St. Fransikus! Suatu hari selama waktu rekreasi ia merasa ada seorang suster yang tidak peduli bahwa menghindari dosa ringan itu sangat penting. Pendiri yang suci ini merasa begitu marah dan sedih atas hal itu sehingga dalam keadaan tidak sadar dia jatuh ke lantai. Jiwa-jiwa yang seperti ini akan naik kepada Allah.

III

Pada tempat yang ketiga, kita harus melepaskan diri dari cacat-cacat yang disengaja. Ini adalah pekerjaan besar orang-orang kudus dan itu juga harus menjadi pekerjaan kita, sekali kita sudah memutuskan untuk naik ke Gunung Alverna. Pemeriksaan batin yang jujur yang dilakukan dengan sungguh-sungguh setiap hari, perlahan-lahan akan memperlihatkan kepada kita apa saja yang harus kita perbaiki dalam kehidupan sehari-hari, yaitu cacat-cacat seperti: kesia-siaaan, kelekatan ringan, kelalaian dalam mempergunakan waktu kita, cara bicara yang otoriter, pikiran-pikiran dan percakapan-percakapan yang tidak berguna.

Mari kita berdoa setiap hari sebagaimana Bapa Serafik kita biasanya berdoa: “Ya Allah, terangilah akal budi kami, supaya kami dapat mengenal diri kami tanpa ketakutan pada apapun; dan supaya kami boleh datang untuk mengenal Engkau, seperti Engkau ada dalam DiriMu sendiri. Semoga kami dapat melihat cacat-cacat kami dalam terang kesucian-Mu yang abadi! Berilah kami kekuatan untuk melepaskan diri sepenuh-penuhnya dari cacat-cacat itu. Kami mohon kepadaMu penuhilah apa yang kurang dalam kelemahan manusiawi kami dengan kekuatan ilahi-Mu”.

* * *

Melepaskan diri dari dosa berat membuat pendakian ke Gunung Alverna itu mungkin.

Melepaskan diri dari dosa ringan bukan saja membuat pendakian ini mungkin tetapi juga mudah.

Melepaskan diri dari cacat-cacat yang disengaja dengan murah hati dan ketekunan akan membuat pendakian kita bukan hanya mungkin dan mudah melainkan akan cepat mengangkat kita jauh ke atas puncak kekudusan Fransiskan.

Untuk itu, dengan mengarahkan pandangan pada kematian, mari kita sekarang menlepaskan diri dari kejahatan. Kematian akan memaksa kita untuk melepaskan semua keterikatan duniawi. Tetapi pelepasan diri yang kasar itu hanya akan diselesaikan dengan kesedihan dan penderitaan yang mendalam, tanpa pahala sedikitpun karena dipaksakan. Sebaliknya, seorang Fransiskan yang sungguh-sungguh mengikuti jejak Bapa suci mereka, meninggal dengan damai dan sukacita karena bagi mereka kematian itu bukan sebagai seorang pengacau yang kasar yang merengut mereka dari segala ketertarikan dan kesenangan duniawi, tetapi lebih sebagai saudari yang ramah yang menyambut mereka dan membuka pintu gerbang menuju hidup abadi. Itu terjadi karena selama hidup mereka telah memisahkan diri dari dunia, daging dan iblis dan dengan berani naik ke puncak Gunung Alverna. Dari situ jarak ke surga, sangat pendek.

Diterjemahkan Oleh Sr. M. Paula OSCCap


Cermin Kekudusan

Sabda sudah menjadi manusia dan berdiam diantara kita”.

Tuhan mengundang seorang manusia dan memilih siapa yang berkenan kepada-Nya. Pembawa warta itu ialah seorang malaekat agung, namun iadengan lantang dan tegas menyatakan bahwa gadis yang dihadapinya lebih agung dan lebih luhur. Bentara surgawi itu tunduk dihadapan Maria. “Aku membawakan pesan Tuhan kepadamu!” Sapa Gabriel. “Janganlah takut! Tuhan memilih engkau di antara ribuan puteri Israel, supaya menjadi bunda Putera-Nya dan mempelai Roh Kudus”. Maria merasakan denyut hati waktu mendengar lamaran Surgawi itu, dan dengan ikhlas berkata: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Allah Roh Kudus menaunginya dan menyelubunginya; Maria menyambut sabda Illahi dalam kandungan dan kodrat kemanusiaan bagi Allah Putera dalam darah-Nya yang murni. Wanita yang “ada dalam kepenuhan waktu” melahirkan Putera Allah sebagai anaknya sendiri yang diserahkan demi keselamatan dunia. Maria Bunda Sabda yang menjadi daging adalah jaminan “realitas” peristiwa inkarnasi. Kesediaan Maria menjadi bunda-Nya berarti memberi kesempatan kepada Allah untuk masuk dalam situasi dan mengalami sejarah manusia, Kristus sungguh-sungguh manusia. Ia dilahirkan oleh seorang wanita. Nama wanita itu Maria. Apa yang dikatakan tentang keperawanan Maria ada sangkut pautnya dengan dikandungnya Yesus karena kuasa Roh Kudus (Luk 1:35). Hubungan antara Maria dan Roh kudus bersifat unik dan serba khas. Maria adalah mahkluk yang tidak ada duanya dalam dirinya sendiri dan yang mempunyai relasi dengan Allah secara istimewa. Hubungan itu menampakkan Roh Allah yang dicurahkan kepada ciptaan. Roh Allah itu sifatnya “Kudus.”

Konstitusi Dogmatis (LG artikel.56) sendiri menyatakan “Perawan Nasaret ini dikaruniai cahaya kekudusan yang istimewa sejak saat pertama ia dikandung dan mendapat salam penuh “rahmat” dari malaekat pembawa kabar atas perintah Allah (Luk 1:28). Allah suka akan Maria, sebab dalam diri Maria terpenuhi benar-benar apa yang direncanakan Allah untuk semua orang. Itu berarti Maria harus kita renungkan sebagai sunguh-sungguh manusia biasa seperti kita. Rencana Allah agar manusia menjadi kudus telah terlaksana pada bunda Maria, karena bunda Maria dalam hidup sehari-hari menyerahkan diri sepenuhnya kepada dorongan Roh Kudus. Seperti kita Maria harus bekerja sama dengan rahmat Allah setiap saat selama hidupnya. Bunda Maria memiliki sikap serah diri, artinya dalam segala hal mampu mengalahkan rasa gelisah dan mengenakan rasa damai dan kegembiraan, karena tahu bahwa dalam semua peristiwa hidupnya ia dibimbing oleh Roh. Anugerah seperti itu juga diperuntukkan bagi kita semua.

Maka wajar bila bunda Maria, sebagaimana layaknya semua manusia, tumbuh dan berkembang dalam kekudusan, yaitu serah diri utuh kepada Allah, melalui keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa hidup yang dialami. Karena hanya lewat peristiwa hidup sehari-hari, orang biasanya dapat merasakan kasih penyelenggaraan Bapa yang sedang bekerja. Kekudusan Maria tidak lepas dari :

  • Jasa orang tua bunda Maria
  • Perjumpaan dan pergaulan dengan St.Yosef
  • Perjumpaan dan pergaulan dengan para tetangga, orang yang dijumpai seperti Simeon, Hana, para gembala, Elisabet dan lain sebagainya.

Gereja menyebut Maria “cermin kekudusan”, kekudusan Illahi. Rencana Allah agar manusia menjadi kudus telah terlaksana pada bunda Maria, karena bunda Maria dalam hidup sehari-hari menyerahkan diri sepenuhnya kepada dorongan Roh Kudus. Seperti kita Maria harus bekerja sama dengan rahmat Allah di setiap saat selama hidupnya. Kata Maria kepada St. Veronika: “Aku adalah penjaga dan penguasa jiwamu, dengan perantaraanku engkau akan belajar mencinta.” ( Le journal de ste Veronicua Guiliani, hal.259).

Cintakasih adalah kerinduan hidup Maria. Tindakannya dijiwainya dengan cintakasih sehingga mengatasi tindakan-tindakan terindah orang-orang suci terbesar. Pengalaman mengajar mereka yang hidup bersama Maria, menjalani panggilan Kristen mereka dengan harapan besar sekali bahkan sanggup mengenal cinta Kristus yang melebihi segenap pengetahuan, pengertian. Kita dipanggil untuk mengikuti teladan iman Bunda Maria, yang rendahhati di hadapan Allah. Bersikap kontemplatif berhadapan dengan karya Allah, dan pendoa agar taat kepada gerakan Roh dengan demikian akan bertindak sebagai pemersatu dan pendamai dan pembawa hidup baru.

Tahun ini kita memperingati 150 th penampakan Bunda Maria kepada Bernadette di Lourdes, 8 Des 2007 – 8 Des 2008. Ini saat berahmat, tahun Yubileum Agung bagi seluruh umat beriman. Di Lourdes Allah memilih seseorang yang di mata dunia tidak bernilai, seorang yagn dilupakan oleh dunia. Bernadette menjadi symbol orang miskin dan hina. Bernadette diberkati dengan penampakkan yang membuat segala sesuatu yang ia alami terjadi dalam suasana yang baik. Bersama Bernadette kita mulai memahami tentang peziarahan iman, dimana Tuhan meminta kita untuk menjalaninya sepanjang hidup kita. Sekitar 5 juta peziarah melakukan perjalanan iman mereka ke Gua Massabielle. Namun demikian setiap orang mempunyai dunianya sendiri, dunia pasang surut, harapan dan kekuatiran , kebahagiaan dan penderitaan. Pada saat kita menemukan diri kita di kaki Maria, mungkin dengan air mata, mungkin hancur dalam rohani maupun jasmani, mungkin saja hilang dari iman, Yesus telah menunggu.

Selama penampakkan itu ibu Maria juga meminta Bernadette untuk menjalani serentetan gerakan tubuh tanda penyesalan atas nama para pendosa :

  • “Mencium tanah” bagi pendosa mengingatkan kita akan Yesus yang merangkul seluruh umat manusia dalam ciuman kehidupan di atas salib.
  • “Merangkak di tanah” mengingatkan saat Yesus jatuh ke tanah karena beratnya salib.
  • “Makan rumput” mengingatkan pada ramuan pahit yang di minum-makanan lembu korban pada perayaan paska kaum Yahudi.

Pesan dari Lourdes sampai kepada kita dalam berbagai tanda :

1. Kemiskinan : Pada tanggal 11 Pebruari 1858, kemiskinanlah yang memaksa Bernadette meninggalkan rumah untuk mencari kayu bakar. Kemiskinan itu yang kembawanya ke tempat terpencil bernama Massabielle dan Bunda menunggunya.

2. Gunung, batu karang, dan gua.

  • Gunung adalah : Tempat Tuhan berdiam, tempat Tuhan menyatakan Diri, karena itu seringkali Rumah Tuhan dibangun di atas gunung.

o Batu karang merupakan symbol iman akan Tuhan.

o Gua, menjadi tempat pertemuan dengan kekuatan kosmis. Musa dan Elia bertemu dengan Tuhan ketika mereka ada di Gua.

3. Air yang mengingatkan kita akan air kehidupan yang di janjikan kepada wanita Samaria ( Yoh 4,10-14) kepada semua orang yang dahaga ( Yoh 7,38-39). Air menjadi lambang yang membersihkan manusia dari dosa dan menemukan hidup baru dalam Yesus.

4. Terang. Lilin merupakan simbol iman dan doa orang Kristen. Kita di ingatkan akan lilin paska sebagai symbol Kristus yang bangkit. Kita diingatkan akan lidah-lidah api saat pentakosta ( Kis 2:13 ), semak-semak Musa yang menyala ( Kel.3 ), akhirnya kita di ingatkan akan Yesus, “Terang Damai” ( Yoh 8:12 ). Setiap petang hari di Lourdes diakhiri dengan kata-kata “Engkau adalah terang dunia, bawalah terang kepada saudara-saudaramu.”

Yang mendasar tentang Lourdes adalah bahwa Lourdes Membawa kita kesuatu yang mendasar. Bunda selalu mengarahkan kita kepada Injil. Bunda selalu membimbing kita, dengan bimbingan Roh Kudus, kepada Yesus Puteranya yang membawa cinta Bapa kepada kita. Dengan jelas Bunda memberitahukan kepada kita bahwa Yesus ada: hadir disini, mencintai kita, memeluk kita, selalu bersama kita hingga akhir zaman.

Oleh: Sr. Xavier Wondal OSCCap

Dirangkum dan dan dikumpulkan dari berbagai sumber:

  1. Bernadot, M.V., Maria Dalam Hidupku, Yayasan Kanisius Semarang 1965.
  2. Lochran, John, Pesan-pesan dari Lourdes, Kanisius 1999.
  3. Lochran, John, Lourdes, Sumber Air Kehidupan, Kanisius 1999.
  4. Lochran, John, Pesan-pesan dari Lourdes, Kanisius 1999.
  5. Maloney, George A. SJ, Maria Rahim Allah, Kanisius 1990.
  6. Majalah Hidup.


[1] Poor Clare Federation of Mary Immaculate in the United States of America ,The Cloistered Poor Clare Nuns” hlm. 3.

[2] Dom Jean Prou dkk. “La Clausura Delle Monache” Cita del Vatican 1996, hlm. 109.

[3] Dom Jean Prou dkk. La Clausura Delle Monache” Cita d Vaticana 1996, hlm. 110.

[4] Fransiskus dan Karya-karyanya, Kanisius 1988, hlm. 155.

[5] Regula Klara VII,16.

[6] Groenen, “Santa Klara Asisi dan Hal-Ihwal warisan rohaninya”, 1992, hlm. 41.

[7] Regula Klara VII, 1-2.

[8] Bdk. Konstitusi Klaris Kapusines, VII no. 132.

[9] Bdk. Groenen, “Santa Klara Asisi dan Hal-Ihwal warisan rohaninya”, Pacet 1992, hlm. 57.

[10] Regula Klara II,12.

[11] Bdk. Groenen, “Santa Klara Asisi dan Hal-Ihwal Warisan Rohaninya”, Pacet 1992, hlm. 47.

[12] Poor Clare Federation of Mary Immaculate in the United States of America ,The Cloistered Poor Clare Nuns” hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar